Chapter 18
Chapter 18
Read Wanita Rahasia CEO by Blezzia Chapter 18 –
EDISI SPESIAL 18 – Sean & Via
Tatapan Sean fokus pada CCTV yang menampilkan kegiatan Via di ruang kerja pribadi wanita itu. Tidak sedikit pun matanya mengedip, sedang satu tangan di atas meja bergerak dengan irama seperti bunyi tapak kuda.
Ketika Via beranjak dari kursi dan keluar ruangan, Sean segera mengganti layar dengan CCTV di setiap koridor yang dilaluinya. Tampak Via menyapa beberapa karyawan dan berhenti sebentar untuk sekedar berbicara. Melihat rutinitas wanita itu yang sudah hapal di luar kepala, Sean pun mengalihkan perhatian pada pekerjaan di meja dan menyeruput kopi hitamnya sembari sesekali melirik ke layar CCTV.
Kali ini Via bergerak menuju ke arah pantry, dan mata Sean tetap mengikuti,
namun cangkir dalam genggamannya terhenti di depan bibir ketika melihat seseorang ikut masuk ke pantry tepat dibelakang wanita itu.
Via merasa haus tiba-tiba dan dia lupa membawa botol minum ke ruangan.
Setelah menyapa senior-seniornya, Via pun memilih untuk tidak berlama-lama untuk berbicara, karena dia masih sangat canggung. Untung saja di pantry tidak ada siapa-siapa sehingga dia merasa sedikit lega. Segera Via membuat teh dan mengambil beberapa cemilan yang terhidang di meja, lalu mencicipi dua potong saja.
Suara pintu yang dibuka membuat Via menoleh ke sumber suara, dan seorang senior laki-laki dari Departemen
Pelayanan memasuki ruangan sembari mengulas senyuman.
Sebelumnya Via pernah diperingatkan oleh Amber bahwa pria itu memiliki tabiat yang tidak baik pada anak baru, terutama wanita, sehingga kewaspadaan Via meningkat tiba-tiba.
“Hey,” sapa pria itu sembari mendekat dan membuat teh di sebelah.
Merasa risih karena ruang privasinya
diintervensi, Via pun bergeser satu langkah ke samping, tapi ternyata pria itu mengikuti sembari bersiul seolah hal barusan tidak terjadi.
“Ha … hay,” balas Via gugup.
Dia melihat ke arah pintu berkali-kali dan berharap seseorang masuk ke dalam ruangan.
“Aku mendengar kau baru bekerja di sini selama beberapa hari,” kata pria itu membuka topik pembicaraan, namun Via mulai merasa tidak nyaman sehingga dia hanya mengangguk saja.
“Oh, ya, aku lupa memperkenalkan diri,” ujar pria itu sembari menjulurkan tangan. “Namaku Devan.”
Ragu-ragu Via menerima jabatan tangan tersebut, namun karena tidak ingin terlihat sombong, dia pun menjabat dengan berat hati. Dan benar saja, pria itu memegangi tangan Via berlama lama, membuat dia risih dan bersusah payah menarik tangan yang terperangkap dalam genggaman Devan.
“Mmm … Pak Devan, aku ingin mengaduk teh, tapi …” Via melirik ke arah tangan mereka, sebagai isyarat dia menginginkan tangannya kembali.
Pria itu bahkan tampak tidak peduli dan melakukannya berlama-lama dengan senyum creepy yang membuat Via ingin lari.
“Sepertinya, memanggilku Devan saja sudah cukup. Kata ‘Pak’ malah membuatku merasa ada jarak di antara kita,” goda pria itu sembari mengelus tangan Via dan mendekatkan diri sampai wanita itu
terpojok ke sudut lemari pantry.
Via mencoba mendorong tubuh Devan agar memberinya ruang untuk melarikan diri, tetapi pria itu malah semakin mendekat.
“Senang bertemu denganmu,” dusta Via dengan hambar. “Tetapi aku ingin keluar, permisi,” kata Via hendak berkelit, namun pria itu malah mengurungnya dengan dua tangan ke
meja.
“Oh, sebentar, sepertinya ada benang di bahumu,” ucap pria itu sembari mendekatkan wajah dan berpura-pura hendak mengusap pundak Via, namun suara bantingan pintu membuat mereka terlonjak dan memisahkan keduanya secepat mungkin.
Mata Via membulat begitu melihat CEO Luna Star memasuki pantry dengan kedua tangan berada di saku celana, sementara pandangannya fokus pada pria yang terlihat salah tingkah dan kesulitan menelan saliva tepat di samping Via.
Wajah Sean Reviano tampak datar tanpa ekspresi, namun jauh di dalam sana dia kesulitan mengontrol emosi.
Cukup lama ketiganya terdiam, tetapi hanya Sean yang berani memperhatikan
dengan terang-terangan, sementara itu Devan terlihat ingin lari, sedang Via lebih seperti berusaha mengkerutkan diri.
Merasa gugup, Via pun menundukan kepala, terutama ketika mata biru Sean Reviano beralih memperhatikannya. All rights © NôvelDrama.Org.
Suasana tegang di sekitar ruangan buyar seketika, saat tiba-tiba Altha memasuki Pantry dengan sepatu hak tingginya yang bising saat berlari-lari ke dalam.
“Pak CEO! Kopimu sedang dipesan, anda tidak perlu harus jauh-jauh ke pantry. Dan sejak tadi Mr. Jared menunggu di Lobby,” jelas Altha dengan napas tersengal karena mengejar Sean yang beralan cepat bagai kilat. Wanita malang itu bahkan sampai membungkuk dan memegangi perut.
Sean menoleh ke balik bahu, pada
sekretarisnya yang bawel. Untung saja dia wanita pekerja keras dan selalu membantu Sean disaat- saat yang tepat, sehingga posisinya dapat dipertahankan, tetapi suara berisik sepatu hak tingginya terkadang membuat Sean ingin membenturkan kepala ke meja kerja.
Seharusnya dia perintahkan saja wanita itu pergi mencari benda-benda pra sejarah di luar sana agar tidak diinterupsi, sehingga Sean memiliki banyak waktu ketika mendatangi pantry.
Setelah napasnya normal kembali, Altha pun mengakkan tubuh dan menatap pasangan di depannya dengan tatapan heran.
“Apa kalian berpacaran?” tanya Altha tanpa filter pada Devan dan Via, membuat Sean mendengus keras yang mengakibatkan dua wanita itu tersentak
kaget. “Astaga, Pak CEO, mood anda yang dapat berubah-ubah seperti badai ketika kekurangan asupan nutrsi benar-benar butuh diperbaiki,” tambahnya lagi sembari mengambil beberapa cemilan yang terhidang di meja. “Maaf kan pertanyaanku tadi, kupikir kalian sangat dekat karena rona merah di pipi masing masing.”
Mendengar itu, Via pun menjadi lebih gugup hingga tangannya berkeringat.
“Altha,” panggil Sean dengan nada suara yang dingin, mengakibatkan sekretarisnya mengutuk diri karena sudah terlalu banyak bicara. “Pergi temui Jared ke ruang pertemuan, dan temani dia sampai
aku kembali.”
Mendengar perintah atasannya itu, Altha pun segera memindahkan cemilan di meja ke piring dan keluar ruangan
secepat mungkin.
Setelah suara hak sepatu tingginya terdengar samar-samar, barulah Sean menatap Devan dengan tatapan tajam kembali.
“Miss Harper,” panggil Sean dengan lembut, jauh berbeda dengan nada yang digunakan ketika berbicara dengan Altha barusan. “Kembalilah ke ruanganmu.”
Dia melirik Via sama lembut dengan suara, dan tatapannya beralih tajam ke Devan begitu mendapati senyuman manis terukir di wajah wanita itu.
Sebelum keluar melewati Sean, Via merasakan sentuhan hangat di lengan, dan kepalanya sedikit terangkat pada pria yang menatap lurus ke depan. Meski perlakuan pria itu tidak begitu kentara, dan hanya dikethui mereka berdua, namun jauh dalam lubuk hati Viamerasa namun jauh dalam lubuk hati Via merasa terlindungi, karena secara tidak langsung sentuhan itu mengisyaratkan sebuah pesan yang bermakna; ‘Aku di sini, bersamamu, jangan takut.’
Setelah pintu di belakangnya tertutup, barulah Sean mendekati Devan yang sejak tadi berdiri mematung dengan pita suara tercekat. Pria itu menyadari bahwa Sean mendapatinya tadi dalam posisi yang patut dipertanyakan, bahkan wajah marah yang tersembunyi dibalik topeng poker facenya memancarkan aura sesak menakutkan.
“Itu tadi…”
Belum sempat dia bersuara, sebuah pukulan mendarat di pipi Devan yang mengakibatkannya tersungkur ke lantai.
“Bereskan barang-barangmu dari meja
kerja, dan melaporlah pada HRD untuk mengurus pemecatanmu. Bila kau ingin mengadukanku pada polisi karena pukulan barusan, aku juga tidak akan segan membuatmu kehilangan sumber penghasilan, dan juga … CCTV di sudut ruangan merekam jelas apa yang baru saja terjadi saat kau melecehkan karyawan wanita,” kata Sean dengan rahang mengeras dan amarah yang tercetak jelas. Hilang sudah wajah kalem dan tenang yang dia tunjukan di depan Via barusan. “Jangan meremehkan ucapanku barusan, dan keluarlah dari tempat ini dengan menutup mata serta mulutmu bila kau tidak ingin kesulitan di masa depan.”
Sean tahu Via pasti tidak akan memperpanjang masalah sampai ke kantor polisi, dan satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah membuat hidup pria
di hadapannya mendapat balasan setimpal. Salah satu caranya adalah membuat beberapa perusahaan menolak lamaran kerja yang hendak Devan masuki, serta menaruh pria itu di daftar hitam jaringan HRD seluruh Amerika.
Devan menatap Sean dengan mata marah, namun dia diam saja sembari memegangi pipi yang terluka dengan satu tangan, sedang satunya mengepal di atas lantai yang menjadi sandaran. Sesaat dia menoleh ke arah CCTV dan barulah Devan menyadari benda itu tertanam di sana, karena selama ini tidak pernah ada CCTV di ruang pantry, hanya koridor dan beberapa ruangan saja.
Mata keduanya saling mengunci, tetapi Devan lebih dulu menundukan pandangan, tahu bahwa dia berada di posisi yang kalah.
Tanpa mengatakan apa-apa, Sean pun berlalu ke luar pantry. Dia diam sejenak di depan pintu, sedang matanya menatap kanan dan kiri bergantian, seakan berat memutuskan; menemui Via atau
melanjutkan langkah ke kantor pribadi. Satu kakinya melangkah ke kiri, namun secepat itu pula dia berputar arah ke kanan, karena saat ini bukan waktunya menyusul wanita itu.
Next Chapter